Selasa, 03 November 2009

heartz beatz

Seperti biasanya malam itu kami menghabiskan waktu diatas balkon sebuah rumah kosong. Tempat yang hampir tak pernah dijamah orang karena dikenal angker, kami duduk berdua memandangi langit.
“Ky, cewek yang nolak cowok itu apa jahat sih?”
Ita mulai bicara. Dari situ aku sudah bisa menduga kelanjutannya. Ini memang bukan pertama kalinya.
“Kalau menurut kau sih, tergantung suka tidaknya atau cara menolaknya.”
Sedikit kucuri pandang pada Ita.
“Emang baru nolak orng lagi ya, nolak siapa?”
“Em.......itu si Sugeng yang kau ceritain kemarin. Gimana ya..... aku memang gak suka sama dia.”
“Kenapa gak ada suka?kurang tampan ya?”
“Itu salah satunya.”
Kuusap rambut Ita yang licin. Dia bertopang dagu.
“Dia nyebelin;suka kepedean gitu. Udah kubilangaku maunya temenan. Tapi dianya serius. Ngasih ini itu, ngajakin jalan, ngajakin kerumahnya, njemput pulang. Tentu aja aku nggak mau. Dikiranya aku pacarnya apa.”
Aku tersenyum menanggapi kesewotannya. Ini adalah kesekian kalinya ia mengungkapkan penolakanya terhadap cowok beserta alasannya. Sejauh ini aku belum tahu kenapa dia terus nolak cowok sehingga sekarang tetap jadi jomblo. Yang jelas bukan karena dia patah hati. Dia baru sekali pacaran. Katanya usianya hanya tiga hari. Itupun Ita sendiri yang mutusin karena dia merasa kurang cocok. Kurasa itu tidak bisa dijadikan alasan untuk patah hati.
Sementara dia kalau naksir seseorang, sepertinya tidak. Belum ada tanda-tandanya.
“Eh, kok malah bengong sih?”
Aku tak sadar kalau Ita memperhatikanku.
“Kamu tuh lucu. Udah ngerti kamu nggak suka sama cowok. Tentu saja dia akan tampak jelek. Coba kalu kamu sudah jatuh cinta. Seburuk apapun, dia nggak akan kelihatan.”
“Jadi orang itu harus jatuh cinta dulu ya seseorang itu baik.”
“Ya bukan begitu sih.”
“Tapi kalau kamu, kok rasanya beda ya. Emang kamu juga sering kepedean. Sama kayak aku. Tapi aku nggak pernah sebel lho. Aneh deh.”
Ita memandangiku layaknya memandangi pigora.
“apa ya jeleknya kamu.”
“Gak lucu ah.”
Kurapatkan Ita dalam rangkulanku. Aku tak tahu kebersamaan macam apa yang kami jalani ini. Kami bukanlah sepasang kekasih. Tetapi setiap bertemu, kami selalu terlarut dalam suasana akrab, bebas, dan terbuka. Seolah tidak ada batas diantara kami. Mungkin walaupun ada cinta, itu tak harus terungkapkan. Sebab itu hanya akan mengubah keadaan. Selain itu, kondisi yang berbeda membatasi perasaan kami untuk terbawa dalam hubungan cinta. Dia punya kriteria cowok yang tak ada padaku. Aku sendiri masih jauh untuk memikirkan cinta. Cita-citaku banyak.
“Ta, ini sudah yang ke dua puluh satu lho masak tidak ada satupun yang berkenan di hati kamu, kenapa sih Ta?”
“Karena kamu kali.”
Aku tak lagi dapat menahan diri. Kupencet hidung ita gemas.
***
Pendopo kabupaten, adalah tempat Ita bbekerja dan sekaligus tempat langganan koranku. Waktu aku ketemu dia, disana dia mengundangkuuntuk datang ke suatu tempat. Katanya spesial, ah Ita bisa saja, mana mungkin ada pertemuan istimewa bagi kami. Paling juga seperti itu, di tempat itu bercanda, saling curhat, dan begitulah. Kecuali pertemuan pertama. Aku memang menganggaphal itu adalh hal yang istimewa. Yaitu saat tiba-tiba aku menemukannya saat dia menangis di tempat rahasiaku.tepatnya dia baru di-PHK karena pabrik sepatu tempat dia bekerja mengalami bangkrut.
Sejak itulah kami sering bertemu di balkon rumah kosong.biarpun pernah ada kejadin berdarah di rumah, sedikitpun kami tak merasa takut. Toh kami tak pernah mengalami kejadian yang aneh di situ. Lalu aku menyarankan pada Ita untuk melamar kerja di pendopo kabupaten. Disitu dia diterima sebagai cleaning service. Lumayanlah untuk menyambung hidup sehari-hari. Dari pada tidak ada sama sekali.
Lepas dari itu Ita selalu menceritakan kejadian luar biasa dalam hidupnya kepadaku, tentang perasaannya terhadap cowok-cowok disekitarnya, tentang beban hidupnya, juga adiknya yang suka menyebalkan. Tak hanya itu, Ita juga sering menggodaku dengan adanya jerawat di pipiku. Kenapa pula aku tak segera menikah padahal aku sudah cukup umur. Dan itu hanya kutanggapi dengan senyum.
Pada kesempatan ini, sepertinya yang dikatakan Ita benar kalu pertemuan ini spesial. Sejenak aku terkesima melihat banyaknya lilin mnyala begitu aku masuk balkon. Ada apa nih?
“Gimana, aku bisa romantiskan?”
Romantis? aneh deh. Nggak biasanya Ita begini. Kupandangi sekali lagi sekelilingku.
“Eh malah bengong. Menurut kamu bagus nggak?”
“Iya. Keren.”
Ita jadi cemberut.
“Ih kamu selalu begitu deh, nggak semangat.”
Ita menggandeng tanganku menuju pinggir balkon. Dia menunjuk bintang di langit.
“Lihat tuh. Bintan yang yang kelihatan kecil saja bersinar dengan penuh semangat. Masa kamu kalah.”
“Iya deh.”
Kutepuk-tepuk pipinya. Sifat cerewetnya selalu membuatku gemas. Sudah wajahnya sedikit imut, manjapula. Terkesan anak-anak.
“Ky, aku punya sesuatu buat kamu. Kamu tutup mata, ya.”
Aku menurutinnya. Tetapi kemudian aku kaget dengan apa yang dilakukannya kepadaku. Refleks aku mendorongnya.
“Maaf.”
Kulihat raut wajah ita berubah seiring dengan sikapnya yang serba salah. Dan itu belum pernah kulihat sebelumnya.
“Apa yang kamu lakukan Ita?”
Ita malah memelukku erat-erat.
“Maafin aku ya Ky. Aku nggak bisa manahan perasaanku.”
Aku melepas pelukan Ita.
“Perasaan apa Ta? Kamu ini kenapa?”
Dengar pertanyaanku, Ita semakin gugup dan bingung. Dan tak kusangka tiba-tiba dia berbalik pergi tanpa bisa kucegah. Aku bingung sendiri hanya bisa memandang kepergianya. Karena aku memang tak mengerti dengannya. Kenapa dia bersikap aneh hari ini. Aku juga tak berani manduga-duga. Ita kenapa sih?
Kupandangi lilin-lilin itu. Romantis ? kenapa aku jadi tega begini ya?
***
Seminggu berturut-turut aku tidak melihat Ita saat mengantar koran di pendopo. Mungkin kebetulan dia sedang sibuk saat aku datang, begitu yang kupikir.
Tak kusangka ternyata dugaanku keliru. Makanya aku kaget saat aku tahu kalau dia sudah tak bekerja di situ. Langsung saja aku pergi ke rumah kontrakannya. Dia juga sudah tak disana. Hatiku jadi galau. Dimana Ita sekarang. Kenapa pergi tak bilang-bilang? Apa ini ada kaitanya dengan kejadian tempo hari.
Sampai rumah aku merebahkan diri di kursi kepayahan. Kuraih apa saja di meja kecil sebelahku untuk kipas. Tak sengaja tanganku meraih surat undangan berbentuk album. Aku tertegun sejenak melihat sampul undangan berbentuk album. Mendadak nafasku menjadi begitu sesak. Kegaluan hatiku semakin menjadi-jadi. Aku membukanya. Tampak sebuah nama yang ditulis dengan font yang cukup besar. Zannita Damayanti.
“Undangan ini kapan datangnya, Bu?”
Tanyaku setengah sadar pada Ibu yang lewat dengan nol-nol dirambutnya.
“Udah dari pagi.”
Pandanganku masih mengamati isi undangannya. Kutemukan sebuah kertas terselib. Sepertinya belum terjamak oleh orang di rumah ini. Maka aku membawanya ke kamarku.

Gimana kabar kamu Ky, masih banyak jerawatnya ? Kalau menurut aku sih kamu jangan kebanyakan mikirin cewek, terutama aku biar jerawatnya nggak tambah banyak. Oh ya, dulu aku ketemu banyak cowok, mereka pada ngajak aku kerumahnya lho. Kenapa kamu nggak pernah ngelakuin itu Ky. Padahal aku pengen banget tahu rumah kamu .
Ky,
Sebelumnya aku minta maaf. Aku nggak bermaksud ngasih kejutan dengan nggak ngomong apa-apa sama kamu. Asal kamu tahu, aku juga nggak ngerti dengan yang kulakuin ini. Aku nggak tahu aku ini cewek macam apa hanya kamu yang tahu Ky. Kenapa bagi orang seperti aku, cinta dan kebahagiaan tak lagi berharga.
Aku sayang kamu. Itulah yang ingin sekali aku bilang ke kamu.karena kau tahu aku nggak bisa ngarepin kamu yang akan bilang. Jauh dalam hatiku, aku pengen banget jadi pacar kamu. Apa gunanya aku ngungkapin seperti itu jika akhirnya begini.
Doakan aku bisa ya Ky........

Ah Ita,di saat benipun dia masih bisa bercanda. Padahal dia sudah jelas mengorbankan diri atas beban hidup keluarganya. Hutang mendiang ayahnya yang bertumpuk-tumpuk, biaya sekolah adiknya, ibunya yang sakit-sakitan, belum lagi kebutuhan sehari-harinya yang tak bia ditunda. Kalau hany mengambil gaji cleaning service saja, tentu tidak cukup. Makanya dia rela dijadikan istri ke empat belas oleh salah satu pengusaha terkemuka di kota ini.
Aku bergegas pergi. Aku ingin bertemu dengannya sekali lagi. Aku akan datang ke acara pernikahannya. Tak peduli pesta itu sudah berlangsung beberapa jam yang lalu dan sekarang mungkin sudah selesai. Tapi tidak. Baru smpai di tepi jalan aku melihat mobil dengan hiasan bunga pada kap-kapnya lewat. Ita membuka kaca mobil. Dia menatapku penuh arti. Tak ada lagi raut manja, cerewet ataupun kanak-kanak dari wajahnya. Yang da sorot yang memandangku dengan penuh kedukaanyang mendalam. Dia terus memandangku.
Ita. Andai saja aku bisa berbuat seuatu untukmu.







HUN ’X KAMIS, 20:44:21
NOVEMBER 22 ‘ O7

Senin, 02 November 2009

LITTLE ANGEL SHORT FLY

BAB 1
LITTLE ANGEL SHORT FLY

Lilin menyala berkelip-kelip. Redup dan melambai-lambai ditiup angin yang berhembus, menerpa gorden yang semula terpekur pada bingkai kaca jendela. Gelapnya ruangan itu, malam itu, hanya cahaya lilin yang memelita. Bukan karena listrik mati, atau tak ada lampu yang bisa menerangi. Akan tetapi, lebih karena penghuni kamar itu menyukai suasana seperti itu. Khusus di kamar itu. yang dinikmati seorang diri. Tanpa suara apapun. Bukan sesuatu yang mencekam. Gelap, hening, sunyi. Baik sepanjang malam atau siang, kamar itu tetap gelap. Terang-terang kalau ada seseorang yang bertugas untuk membersihkannya sedang bekerja. Itu hanya sebentar. Dan bisa dipastikan ia bekerja saat penghuni kamar sedang tak ada. Sebab selama Are ada, ia tidak pernah mengijinkan lampu di kamar tidurnya menyala barang sedetik.
Berganti hari, lilin itu akan mati. Digantikan oleh lampu kerlap-kerlip, warna-warni, berdaya rendah, seperti lampu natal. Penghuni kamarnya masih tetap sama. Menikmatinya. Keremangan yang indah, damai. Bergulat dengan mimpi, membayangkan kisah-kisah yang indah yang sudah jadi bagian dari hidupnya. Bagian dari setiap malam-malamnya. Bersembunyi dibalik kelelahannya, kebahagiaannya, kedukaannya, akan berakhir di segenap keterlelapan. Setelah ia melewati harinya yang sunyi dibuatnya. Karena ia bukanlah orang yang banyak bicara. Bicara hanya seperlunya saja.
Keluar dari kamar tidur khususnya, ada kamar belajar. Luasnya standart kamar biasa. Empat kali enam. Di ruang belajar itu, ada enam rak lemari besar yang penuh buku-buku tebal. Rak–rak itu ditata sedemikian rupa di sekeliling ruangan. Kecuali pada salah satu sisi tempat TV. Hampir bisa disebut sebagai perpustakaan pribadi. Pada bagian tengah ruangan, terhampar karpet berwarna abu-abu dengan motif polos. Ada satu set meja belajar dengan ukuran besar dimana di atas meja itu berjajar rapi buku-buku pelajaran sekolahnya. Ada satu set komputer di ujung ruangan. Ada satu unit LCD 32 inch yang tampak bagai lukisan di dinding lengkap dengan player serta play station. Tampak pula boombox di atas atas meja ukuran kecil. Dan kalau diamati lebih jauh, tak ada debu yang menempel pada setiap peralatan di kamar itu. Perfect.
Di sisi sebelah kiri kamar belajar, ada kamar baju. Meskipun bukan artis, Are punya koleksi baju-baju khusus yang begitu banyaknya bila disusun hampir seperti toko baju. Sebenarnya baju-baju itu bukanlah yang menjadi keinginan Are. Are memilikinya bukan karena ia menyukainya, Akan tetapi lebih dibutuhkan karena tuntutan lingkungannya. Yang menempatkannya di rumah itu sebagai putra mahkota. Jadi wajarlah jika yang ada padanya harus tampak sempurna. Segala sesuatu dalam hidupnya seperti dirancang khusus. Segala apa-apa tersedia. Dan ia tinggal menjalankan perannya.
Lebih jauh di rumah itu, kamar dua penghuni yang lain hampir sama. Salah satunya lebih kompleks karena ia yang memiliki rumah itu. Tampak dari luar, arsitekturnya lebih menyerupai kastil dengan perpaduan gaya dari Eropa dan Asia. Dinding-dinding bagian luar, tertutupi oleh tanaman merambat berdaun kecil. Langsung menyatu dengan rumah, berbagai tanaman bunga memenuhi bagian bawah dinding luar. Entah bagaimana kesannya terhadap rumah itu. Kalau rumah lain, bisa dikatakan tak terurus dengan membiarkan tumbuhan sulur merayap di rumah. Namun pada rumah itu, mungkin justru tampak megah. Dengan ukurannya yang besar, bentuknya yang berseni serta kebersihannya yang terjaga.
Namanya juga kastil. Dengan langit-langit yang begitu tinggi. Memiliki hallroom yang luas. Kamar-kamar yang besar dan banyak. Uniknya, di rumah itu bisa disebut juga sebagai rumah pembantu. Kebanyakan yang tinggal disitu adalah pembantu yang bertugas membersihkan setiap detail rumah besar itu. Bahkan juga di sekeliling rumah. Taman rumput seluas lapangan golf, kebun, tempat parkir, kolam renang, serta rumah bunga kepunyaan nona muda. Bedanya kebun dengan rumah bunga, kalau di kebun tanaman-tanamannya tumbuh langsung dari tanah. Sementara rumah bunga, bentuknya kubus, dindingnya berupa teralis dan atapnya berupa kerangka tr

reruntuhan malam

RERUNTUHAN MALAM
BY SHINERU

Sunyi, masih senyap. Jalanan melenggang sepi. Rumput-rumput basah mengembun, awan berkabut. Sekilas, hampir pemandangan pagi ini tak nampak. Kecuali yang di depan mata saja. Terhalang asap pori-pori mikro air. Berharap kan selalu seperti ini. Kan membasah, menghidupi, menyejukkan. Ketika Yu Rah masih menggenjot sepeda untuk sekian puluh kilometer lagi. Semangatnya membara. Tak pernah padam. Tunggu anakku. Aku akan segera datang.
Sengaja perempuan itu berangkat pagi-pagi buta. Sebab sedikit saja matahari menyeruak tirai langit, ia akan lebih banyak tenaga untuk mengayuh sepeda tua ini. Menyusuri tiga desa menuju kota kecamatan. Keringat akan lebih deras mengalir. Padahal Yu Rah tak ingin capek. Habis ini ia harus manjing di sawah. Sebelum jam setengah tujuh hingga tengah hari. Istirahat sebentar lalu berangkat lagi hingga pukul empat sore.
Itupun masih belum sempurna. Di sela-sela keringatnya yang belum kering betul, ia duduk di depan bak-bak dekat sumur. Ya, cucian dari Mbak Lin. Ibu muda tetangga sebelahnya yang punya dua anak yang masih kecil-kecil. Memang semua tak seberapa hasilnya. Tapi Yu Rah membutuhkan rupiah-rupiah itu.
Manjing pagi, Yu Rah bisa mengharapkan delapan ribu rupiah. Sementara manjing sore, upahnya enam ribu. Hasil mencuci sekitar tiga ribu sampai lima ribu rupiah. Ada bonus bila Yu Rah menemukan uang beberapa ribu di saku baju yang ia cuci. Tapi yang terjadi lebih sering tidak adanya. Dan itupun belum bersih. Juragannya kadang suka mngulur waktu pembayaran. Bahkan ada yang sampai berbulan-bulan. Atau kalau tidak begitu, ada yang mbulet waktu diajak petung totalan upah. Seringkali hitungannya diruwet-ruweti. Dibikin rumit. Yu Rah memang tak sekolah. Dan juragannya adalah orang-orang pinter. Maka Yu Rah Cuma bisa ngalah dicurangi mereka. Dibuat injakan olah orang-orang yang notabene rumahnya magrong-magrong dan hartanya melimpah itu.
Sebagai hasilnya, bisa saja Yu Rah datang kerja selama enam hari. Tapi hanya mendapat upah selama empat hari. Ah, tega benar orang ‘juragan’ itu. Harta boleh melimpah tapi masih kolu juga ngembat jatah orang susah. Apa nggak kasihan perutnya. Atau jangan-jangan harta itu hasilnya memang dari menindas orang susah. Naudzubillah.
Masih satu desa lagi. Yu Rah mengatur pernafasannya yang mulai besar-besar. Bayangannya kembali ke rumah. Teringat suaminya yang sedang tergolek di amben. Suaminya memang sering mengeluh. Ada saja yang dikeluhkannya. Yang reumatik, pegel linu, asam urat, ambeien. Sebagai tukang batu, memang berat kerja suaminya. Dengan hasil tak seberapa pula. Dan selama ini, suaminya sudah terlalu capek dengan kerjanya. Sejak umur tujuh tahun sudah dijejali dengan berbagai kerja kasar. Ibarat mesin sudah aus.Jika sekarang suaminya sering sakit, maka kerjanya pun tak selalu rutin. Yu Rah harus kocar-kacir agar dapat terus muluk.
Yu Rah menghela nafas. Di tengah-tengah hidupnya yang serba susah, ada saja yang tega menambah susah. Kemarin anak laki-lakinya yang berumur empat belas tahun, putus sekolah, bertengkar dengan anak tetangga. Cuma bertengkar kecil. Namanya juga anak-anak. Itupun sudah berdamai. Tapi ada oknum yang menangkapnya dengan tuduhan melakukan tindak kekerasan. Yu Rah jelas nggak ngerti kenapa hal kecil itu bisa jadi persoalan. Apakah karena putus sekolah, anaknya jadi terkesan sebagai penjahat? Sekarang anaknya ditahan di Polsek. Kata mereka, ia harus menebus sebesar dua juta bila ingin anaknya bebas.Bah, uang dari mana lagi. Untuk makan saja susah. Belum lagi hutangnya ada dimana-mana.
Matahari terbit melebarkan sayapnya di segenap penjuru muka bumi. Yu Rah sudah berada di depan pintu jeruji. Disambut Yon yang langsung menyambar nasi bungkus yang dibawanya. Di Polsek ini memang tak ada jatah makan. Jadi kalau keluarga tahanan tidak membawakan ransum dari rumah. Pasti tahulah akibatnya. Soalnya petugas disitu benar-benar tak mau tahu. Apalagi kalau sesama tahanan tak mau berbagi.
“ Piye, Mak? Kapan isa mulih?”
Yu Rah menatap anaknya iba. Sudah seminggu anaknya disini. Tentu tersiksa sekali keadaannya. Ia sendiri juga lelah harus bolak-balik kesini setiap hari.
“ Mak udah nyari pinjeman kemana-mana. Tapi nggak ada yang ngasih. Takut kita nggak bakal bisa balikin.”
“ Terus gimana Mak?”
“ Terpaksa Mak terima tawaran Pak Slamet. Rumah kita jaminannya. Besok dia mau ngasih.”
“ Lintah darat itu Mak?”
“ Mau gimana lagi.....”
***
Yon menepuk pipinya yang digigit nyamuk. Ia belum bisa tidur. Ruang sempit ini terasa semakin sesak. Yon tak bisa tidur lagi. Ditatap teman-teman senasibnya yang sudah mendengkur. Salah satunya ngiler, lapar mungkin. Malam ini panas sekali. Yon kegerahan. Ia melepas kausnya yang sudah tiga hari ia pakai. Harum. Meraba sakunya, rokoknya sudah habis. Yon bangkit. Ada yang dilihatnya dari balik jeruji.
Lima polisi itu, duduk mengitari meja. Salah satunya mengeluarkan amplop. Itukan yang diberikan olek keluarga Andi tadi? Yon membatin. Andi, teman sekamar Yon yang hari ini bebas.
Yon terus mengamati.
Amplop itu tersingkir. Si Polisi gendut menghitung uang di dalamnya. Diambilnya beberapa lembar lalu diletakkan merata di meja depan teman-temannya. Polisi-polisi itu tertawa-tawa. Mereka memasukkan uang hasil bagi itu kekantong masing-masing. Setelah itu mereka beranjak untuk pulang.
Meja itu kini telah sepi. Namun Yon masih memandanginya kosong.

Blitar
170109 11.05am