RERUNTUHAN MALAM
BY SHINERU
Sunyi, masih senyap. Jalanan melenggang sepi. Rumput-rumput basah mengembun, awan berkabut. Sekilas, hampir pemandangan pagi ini tak nampak. Kecuali yang di depan mata saja. Terhalang asap pori-pori mikro air. Berharap kan selalu seperti ini. Kan membasah, menghidupi, menyejukkan. Ketika Yu Rah masih menggenjot sepeda untuk sekian puluh kilometer lagi. Semangatnya membara. Tak pernah padam. Tunggu anakku. Aku akan segera datang.
Sengaja perempuan itu berangkat pagi-pagi buta. Sebab sedikit saja matahari menyeruak tirai langit, ia akan lebih banyak tenaga untuk mengayuh sepeda tua ini. Menyusuri tiga desa menuju kota kecamatan. Keringat akan lebih deras mengalir. Padahal Yu Rah tak ingin capek. Habis ini ia harus manjing di sawah. Sebelum jam setengah tujuh hingga tengah hari. Istirahat sebentar lalu berangkat lagi hingga pukul empat sore.
Itupun masih belum sempurna. Di sela-sela keringatnya yang belum kering betul, ia duduk di depan bak-bak dekat sumur. Ya, cucian dari Mbak Lin. Ibu muda tetangga sebelahnya yang punya dua anak yang masih kecil-kecil. Memang semua tak seberapa hasilnya. Tapi Yu Rah membutuhkan rupiah-rupiah itu.
Manjing pagi, Yu Rah bisa mengharapkan delapan ribu rupiah. Sementara manjing sore, upahnya enam ribu. Hasil mencuci sekitar tiga ribu sampai lima ribu rupiah. Ada bonus bila Yu Rah menemukan uang beberapa ribu di saku baju yang ia cuci. Tapi yang terjadi lebih sering tidak adanya. Dan itupun belum bersih. Juragannya kadang suka mngulur waktu pembayaran. Bahkan ada yang sampai berbulan-bulan. Atau kalau tidak begitu, ada yang mbulet waktu diajak petung totalan upah. Seringkali hitungannya diruwet-ruweti. Dibikin rumit. Yu Rah memang tak sekolah. Dan juragannya adalah orang-orang pinter. Maka Yu Rah Cuma bisa ngalah dicurangi mereka. Dibuat injakan olah orang-orang yang notabene rumahnya magrong-magrong dan hartanya melimpah itu.
Sebagai hasilnya, bisa saja Yu Rah datang kerja selama enam hari. Tapi hanya mendapat upah selama empat hari. Ah, tega benar orang ‘juragan’ itu. Harta boleh melimpah tapi masih kolu juga ngembat jatah orang susah. Apa nggak kasihan perutnya. Atau jangan-jangan harta itu hasilnya memang dari menindas orang susah. Naudzubillah.
Masih satu desa lagi. Yu Rah mengatur pernafasannya yang mulai besar-besar. Bayangannya kembali ke rumah. Teringat suaminya yang sedang tergolek di amben. Suaminya memang sering mengeluh. Ada saja yang dikeluhkannya. Yang reumatik, pegel linu, asam urat, ambeien. Sebagai tukang batu, memang berat kerja suaminya. Dengan hasil tak seberapa pula. Dan selama ini, suaminya sudah terlalu capek dengan kerjanya. Sejak umur tujuh tahun sudah dijejali dengan berbagai kerja kasar. Ibarat mesin sudah aus.Jika sekarang suaminya sering sakit, maka kerjanya pun tak selalu rutin. Yu Rah harus kocar-kacir agar dapat terus muluk.
Yu Rah menghela nafas. Di tengah-tengah hidupnya yang serba susah, ada saja yang tega menambah susah. Kemarin anak laki-lakinya yang berumur empat belas tahun, putus sekolah, bertengkar dengan anak tetangga. Cuma bertengkar kecil. Namanya juga anak-anak. Itupun sudah berdamai. Tapi ada oknum yang menangkapnya dengan tuduhan melakukan tindak kekerasan. Yu Rah jelas nggak ngerti kenapa hal kecil itu bisa jadi persoalan. Apakah karena putus sekolah, anaknya jadi terkesan sebagai penjahat? Sekarang anaknya ditahan di Polsek. Kata mereka, ia harus menebus sebesar dua juta bila ingin anaknya bebas.Bah, uang dari mana lagi. Untuk makan saja susah. Belum lagi hutangnya ada dimana-mana.
Matahari terbit melebarkan sayapnya di segenap penjuru muka bumi. Yu Rah sudah berada di depan pintu jeruji. Disambut Yon yang langsung menyambar nasi bungkus yang dibawanya. Di Polsek ini memang tak ada jatah makan. Jadi kalau keluarga tahanan tidak membawakan ransum dari rumah. Pasti tahulah akibatnya. Soalnya petugas disitu benar-benar tak mau tahu. Apalagi kalau sesama tahanan tak mau berbagi.
“ Piye, Mak? Kapan isa mulih?”
Yu Rah menatap anaknya iba. Sudah seminggu anaknya disini. Tentu tersiksa sekali keadaannya. Ia sendiri juga lelah harus bolak-balik kesini setiap hari.
“ Mak udah nyari pinjeman kemana-mana. Tapi nggak ada yang ngasih. Takut kita nggak bakal bisa balikin.”
“ Terus gimana Mak?”
“ Terpaksa Mak terima tawaran Pak Slamet. Rumah kita jaminannya. Besok dia mau ngasih.”
“ Lintah darat itu Mak?”
“ Mau gimana lagi.....”
***
Yon menepuk pipinya yang digigit nyamuk. Ia belum bisa tidur. Ruang sempit ini terasa semakin sesak. Yon tak bisa tidur lagi. Ditatap teman-teman senasibnya yang sudah mendengkur. Salah satunya ngiler, lapar mungkin. Malam ini panas sekali. Yon kegerahan. Ia melepas kausnya yang sudah tiga hari ia pakai. Harum. Meraba sakunya, rokoknya sudah habis. Yon bangkit. Ada yang dilihatnya dari balik jeruji.
Lima polisi itu, duduk mengitari meja. Salah satunya mengeluarkan amplop. Itukan yang diberikan olek keluarga Andi tadi? Yon membatin. Andi, teman sekamar Yon yang hari ini bebas.
Yon terus mengamati.
Amplop itu tersingkir. Si Polisi gendut menghitung uang di dalamnya. Diambilnya beberapa lembar lalu diletakkan merata di meja depan teman-temannya. Polisi-polisi itu tertawa-tawa. Mereka memasukkan uang hasil bagi itu kekantong masing-masing. Setelah itu mereka beranjak untuk pulang.
Meja itu kini telah sepi. Namun Yon masih memandanginya kosong.
Blitar
170109 11.05am
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar